PENINGKATAN
The question “Who ought to be boss” is like asking “Who ought to be tenor in the quartet?” Obviously, the man who can sing tenor. (
Abstrak
Organisasi belajar (learning organization) sangat penting dalam lingkungan organisasi yang terus berubah guna mengembangkan daya saingnya, karena organisasi belajar sebagai suatu proses pengembangan kemampuan yang dilakukan secara terus-menerus oleh suatu organisasi untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Hanya seorang pimpinan yang memiliki visi yang jelas dan mudah dipahami (visionary leadership) serta secara konsisten mengkomunikasikannya kepada seluruh anggota organisasi, tujuan akhir organisasi bisa direalisasikan. Fakultas sebagai sebuah sistem penting dari universitas memerlukan seorang pemimpin yang visioner yang mampu membawa organisasinya kea rah perubahan yang diinginkan, karena inti dari implementasi organisasi belajar dan kepemimpinan visioner adalah perubahan (innovation).
Kata kunci : organisasi belajar, kepemimpinan visioner, fakultas
1. Pendahuluan
Organisasi pada dasarnya dapat dipandang sebagai makhluk hidup (organism) yang keberadaannya sangat ditentukan oleh kemampuannya mengadaptasi berbagai keterbatasan sumber daya dan gerak perubahan lingkungan hidupnya. Dalam konteks inilah perlu disadari bahwa sesungguhnya semua organisasi harus selalu belajar dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya. Organisasi belajar (learning organization) dapat disamakan dengan pembelajaran individu-individu di dalam organisasi. Akan tetapi organisasi belajar bukanlah semata – mata proses pembelajaran individu, tetapi organisasi belajar adalah perilaku organisasi yang diwujudkan melalui pengalaman dan perilaku individu. Dengan kata lain, organisasi belajar akan berjalan bila terjadi pembelajaran individu.
Artikel ini akan membahas organisasi belajar (learning organization) dan kaitannya dengan karaktersitik-karakteristik pimpinan yang dibutuhkan oleh suatu organisasi dalam membawa organisasinya ke arah perubahan yang lebih baik di masa depan (visionary leadership), serta applikasinya dalam kepemimpinan di lembaga pendidikan tinggi.
Sistematika artikel ini sebagai berikut : pertama, akan dibahas konsep praktikal organisasi belajar, kedua disajikan pengertian visi dan faktor-faktor turunannya (derivasi) yang diperlukan oleh seorang pemimpin (leader), dan terakhir menawarkan pokok-pokok pikiran tentang penerapan konsep organisasi belajar dan kepemimpinan visioner dalam organisasi pendidikan tinggi.
2. Pandangan teoritikal dan praktikal organisasi belajar
Garvin (1993) mendefinisikan organisasi belajar sebagai “pengorganisasian kreativitas, kecakapan, dan transfer pengetahuan yang selanjutnya diharapkan mampu memperbaiki perilaku sebagai perwujudan wawasan dan pengetahuan yang baru”[4]. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa organisasi belajar diharapkan mampu mendorong setiap individu di dalam organisasi untuk mengemukakan ide-ide baru, pemikiran-pemikiran segar, karena melalui proses ini diharapkan adanya peningkatan kreativitas, kemampuan wirausahawan, dan ekonomi organisasi.
Dalam kontek organisasi di fakultas, organisasi belajar hendaklah dipandang sebagai tempat dimana setiap individu di dalam organisasi dapat mengembangkan kreativitasnya secara berkesinambungan untuk menghasilkan karya terbaiknya, tempat dimana setiap orang dapat mengembangkan pola pikir dan ide-ide barunya, mengeluarkan aspirasinya bersama secara bebas, dan tempat dimana setiap individu dapat memahami secara berkesinambungan bagaimana belajar bersama. Adalah Senge (1990 : 6-11) yang menguraikan bahwa terdapat lima dimensi penting dalam organisasi untuk “belajar” dengan sungguh-sungguh dan dapat secara kontinyu meningkatkan kapasitasnya guna mewujudkan aspirasi mereka yang tinggi, yaitu (1) berpikir sistematik (systems thinking), (2) penguasaan pribadi (personal mastery), (3) model mental (mental models), membangun wawasan bersama (building shared vision), dan belajar dalam tim (team learning). Kelima disiplin inilah yang bersama-sama membentuk suatu tatanan yang berhasil.
Organisasi belajar dalam pandangan Hartanto (1995) adalah organisasi yang sangat adaptif dan responsif terhadap lingungan eksternalnya, tetapi sekaligus kuat integrasi internalnya[5]. Kekuatan intergrasi internal menunjukkan, organisasi memiliki individu-individu sebagai anggota organisasi yang bergabung dalam tim sebagai manusia karya yang produktif dan berkualitas tinggi. Sedangkan perilaku adaptif dan responsif merupakan ciri manusia karya yang memiliki kompetensi inti, motivasi, wawasan dan inovasi yang berkesinambungan. Oleh karena itu, organisasi belajar adalah organisasi yang mampu memberdayakan (empower) harkat kemanusiaan anggotanya secara berkesinambungan.
Garvin (1993) mengajukan beberapa pemikiran praktikal untuk mewujudkan organisasi belajar, yaitu pemecahan permasalahan secara sistematik, percobaan pendekatan baru, belajar dari pengalaman sendiri dan sejarah masa lalu, belajar dari pengalaman dan keberhasila organisasi lain, dan melakukan transfer ilmu pengetahuan secara cepat dan efisien keseluruh jajaran organisasi.
Menurut Hartanto (1995) ada tiga tumpuan membangun suatu organisasi belajar, yaitu : pertama, gagasan yang mengarahkan. Hal ini bertitik tolak pada suatu wawasan, tata nilai, dan tujuan yang menyatakan apa yang dijunjung tinggi oleh organisasi dan apa yang ingin dicapai oleh anggota-anggotanya; kedua, inovasi dalam struktur. Untuk membangun suatu organisasi belajar pimpinan harus menyediakan infrastruktur yang diperlukan oleh organisasi itu sehingga anggota organisasi memiliki sumber daya dalam jumlah yang mencukupi. Karena keterbatasan sumber daya, maka kemampuan organissi belajar akan sangat tergantung pada kemampuan inovasi dalam infrastruktur yang dimilikinya. Ketiga, teori, metoda, dan instrumen. Ketiganya merupakan sarana yang vital untuk membantu kelancaran proses belajar. Dengan teori kita dapat mengembangkan metode dan alat baru. Tetapi sebaliknya keberadaan metoda dan alat baru akan memungkinkan kita mengembangkan teori baru.
Organisasi belajar juga akan sangat tergantung pada sampai sejauh mana pimpinan mendukung proses tersebut, empowerment secara efektif, dan tidak memandang empowerment sebagai ancaman.
Faktor-faktor penghambat ini hanya dapat diatasi bilamana pemimpin organisasi mempunyai komitmen yang kuat untuk melaksanakan perbaikan secara berkelanjutan, memiliki visi yang jelas dan mengkomunikasikannya kepada seluruh anggota organisasi.
3. Kepemimpinan, Visi dan Kepemimpinan visioner
3.1. Peran kepemimpinan dan visi dalam organisasi
Abad ke-21 mempunyai karaktersitik dan ciri-ciri sebagai berikut : kompetisi semakin meningkat, ketidakpastian, dan perubahan. Lantas, pemimpin yang bagaimanakah yang dibutuhkan orang untuk menuju masa depan? Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Kouzes dan Posner tahun 1987, yang diulangi lagi pada tahun 1993, dengan sponsor oleh American management Association, apa yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin tercakup dalam kata kredibilitas. Ada 4 karakteristik terbesar yang sangat diperlukan oleh seorang pemimpin agar memperolah kredibilitasnya, yaitu : jujur, melihat jauh ke depan, memberikan inspirasi, dan cakap[6]. Dua dari dua karaktersitik tersebut yaitu melihat jauh ke depan (visionary) dan memberikan inspirasi merupakan ciri dari visionary leader. Pemimpin yang mempunyai visi tentang masa depan juga tidak cukup. Dia harus bisa mengkomunikasikan visi ini dan memberikan motivasi dan dorongan kepada anggotanya untuk bekerja keras mencapai tujuan yang merupakan penerjemahan misi tersebut. Peranan pemimpin dalam merumuskan visi amatlah penting. T.J. Galpin (1996) mengatakan bahwa organisasi yang dapat bertahan hidup (survive) dan berkembang (growth) adalah organisasi yang memiliki pimpinan yang mempunyai visi akan perubahan yang sangat tajam sehingga mampu mentransformasikan kapabilitas organisasi untuk membangun daya saing organisasi[7].
Secara umum
Kepemimpinan karismatik adalah kepemimpinan dengan visi jauh ke depan tentang rencana tindakannya, dapat menyampaikan visinya secara oratorik dan mengetahui kemampuan dirinya serta memanfaatkan kemampuan tersebut dalam pola kepemimpinan sehari-hari[11]. Model kepemimpinan strategik merupakan
Peranan seorang leader dalam merumuskan visi amatlah penting. Lebih jauh lagi kredibilitas seorang pemimpin amatlah ditentukan oleh visi yang dimilikinya. Lantas, apa yang dimaksud dengan visi?
Visi atau gambaran masa depan yang dicita-citakan seringkali berawal dari pengalaman si pemimpin itu sendiri. Visi menjawab pertanyaan « where », kemana kita akan melangkah. Suatu pernyataan tentang visi suatu organisasi menunjukkan bagaimana pemikiran-pemikiran dalam organisasi tentang apa yang mereka akan capai dan kemana mereka harus melangkah menuju masa depan yang penuh tantangan. Jadi dengan visilah seorang leader dapat memberikan petunjuk mengenai kemana kita harus melangkah. Dengan demikian, semua tindakan yang dilakukan oleh seluruh anggota organisasi haruslah merupakan cerminan atau turunan dari visi tersebut. Keberadaan visi terebut juga akan memudahkan kita untuk menganalisis perilaku orang di dalam organisasi, perilaku mana yang mengarah kepada visi dan mana yang menuju ke arah lain. Seorang direktur dari Norton Company yang menjadi salah satu responden penelitian Kouzes dan Posner mendefinisikan pemimpin idealnya sebagai « orang yang menetapkan dan mendefinisikan wawasannya serta memberikan anda dorongan untuk menerapkan wawasan itu, dan kemudian ada disana kalau anda membutuhkannya ».
Visi dapat dipelajari, dibentuk dan dikembangkan dan ia sangat penting untuk mau dikemanakan serta dijadikan organisasi di masa yang akan datang. Visi merupakan perpaduan antara pemikiran analitis dann intuitif didasarkan pada
Visi yang menjawab pertanyaan “where” organisasi akan melangkah dapat diterjemahkan menjadi dua bagian, yaitu critical successful factors (factor-faktor penting bagi kesuksesan) dan values (nilai-nilai)[13]. Critical successful factors (CSF) adalah hal-hal yang memberikan kesempatan paling besar untuk mencapai misi suatu organisasi yang didorong oleh tuntutan pelanggan dan kompetisi pasar. CSF kemudian di turunkan lagi menjadi rencana bisnis (business plan) dan kemudian diturunkan lagi menjadi key result area dan objective bagi setiap orang di dalam organisasi. Jadi CSF menjawab pertanyaan “what”, apa yang dilakukan oleh setiap individu dalam organisasi untuk mencapai visinya. Sedangkan values dan turunannya menjawab “how”, yaitu bagaimana
Bila visi bersumber dari manajemen puncak, maka penyebaran visi dapat dijembatani melalui penciptaan
Visi tak harus melangit, tetapi sebaliknya perlu membumi atau from vision to action (Bennis, 1994), seperti belajar sebagai suatu kebiasaan, bertualang, dihubungkan dengan konteks sosial, belajar dari pengalaman, mengambil resiko, mempertegas peranan anda, mengembangkan pemahaman, meningkatkan tindakan kreatif, inovasi, pengembangan visi, mengenali kebutuhan pasar, menyusuan organisasi, mendapatkan sumber daya, penyesuaian terhadap perubahan, melibatkan para anggota dan mengimplementasikannya.
Namun bila tidak terbiasa dengan visi, dapat membawa beberapa konsekwensi antara lain : kerja tanpa perencanaan, ketiadaan makna, kelemahan perencanaan, korang termotivasi, kelemahan menentukan prioritas-prioritas, rasa harga diri berkurang, dan bersifat malas.
William dan Nurin Cohen (1994) dalam bukunya « The Paranoid and Eight Other Ways Your Company Can Be Crazy » mengemukakan bahwa organisasi yang dinakhodai pemimpin yang tidak memiliki visi terjebak pada kesesatan dan salah arah, bahkan pada akhirnya mengidap penyakit kronis organisasi[14]. Menurut William dan Cohen, ada delapan penyakit kronis organisasi yang membuat organisasi berperilaku « aneh », yaitu :
- Organisasi maniak, menunjukkan kegilaan yang luar biasa tentang sukses yang telah dicapainya melalui kreativitas dan inovasi produk/jasa di masa lalu. Sukses tersebut membuat pemimpin tergila-gila pada kreativitas dan inovasi produk/jasa, sehingga produk/jasa baru merupakan tujuan bisnisnya, dan lupa akan pasarnya.
- Organisasi dramatik. Mirip dengan organisasi maniak, organisasi dramatik terbawa oleh pembawaan eksekutif yang bermental dan berpembawaan dramatik. Pembawaan tersebut merupakan menifestasi dari rasa haus akan perhatian umum, gila kesibukan, demam resiko yang tidak tanggung-tanggung.
- Organisasi depresif, organisasi seperti ini diibaratkan balok kayu yang hanyut terbawa arus. Organisasi tidak siap menghadapi perubahandan hanya ikut arus akan apa yang terjadi di lingkungan luarnya. Terjadi dampak besar, yang antara lain ditandai oleh depresi pada karyaswannya, iklim kerja seakan-akan mati, karyawan dilanda rasa apatis, lesu darah. Organisasi tidak akan peduli apa yang akan terjadi di masa depan dan bahwan melupakan komitmen masa lalunya.
- Organisasi skisofrenik. Organisasi yang mengidap penyakit ini tidak memiliki pegangan apa-apa, bagaikan mulut raksasa yang siap melumat karyawannya. Kehidupan organisasi tidak menentu, sehingga karyawan tidak tahu akan apa yang terjadi.
- Organisasi paranoid. Ini terjadi karena eksekutifnya mempunyai pandangan dan pendirian bahwa orang-orang lain tidak dapat dipercaya dan harus diwaspadai, dicurigai. Asumsi yang melekat dalam organisasi adalah setiap orang mempunyai niat jahat dan sedang merencanakan penjegalan. Kemajuan dan kreativitas bawahan dianggap sebagai ancaman jabatan dan kedudukannya dalam organisasi. Akibatnya hunbungan antara individu dalam organisasi dilandasi saling curiga, sehingga menimbulkan suasana kerja yang tidak tenang.
- Organisasi neurotik. Organisasi ini ditandai oleh kepemimpinan eksekutif yang senantiasa ditandai dengan rasa takut. Eksekutif takut akan kemampuan dirinya dan menyangsikan kemampuannya untuk mencapai kesusksesan. Konsekwensinya ia menghindari resiko dan perubahan.
- Organisai kompulsif-obsesif, yaitu organisasi yang tersu menerus menunjukkan pola perilaku yang tidak masuk akal, membahayakan kesehatan sendiri dan perbuatannya hanya terfokus pada satu hal saja, misalnya mengorbankan apapun demi kesempuarnaan suatu aktivitas. Pemimpin puncak organisasi cenderung mengawasi, mengontrol, dan mengendalikan dan bila perlu mencurigai bawahannya secara rinci. Akibatnya, terjadi sentralisasi atas segala macam keputusan organisasi.
- Organisasi mabuk, mengacu pada organisasi yang berpola perilaku tanpa menggunakan perhitungan dan akal sehat, karena eksekutif puncaknya kecanduan suatu hal. Dalam organisasi mabuk, pemimpin tidak akan pernah menyadari atau menerima realitas yang mengidap organisasinya.
- Organisasi stress pasca traumatik, adalah organisasi yang mengalami gangguan emosional karena tergoncang oleh pengalaman dahsyat, misalnya pencaplokan oleh konglomerat lain, kehilangan kontrak kerja sama dengan perusahaan penting, kehilangan pelopor/pendiri organisasi.
3.2. Kepemimpinan visioner
Untuk mereduksi sifat-sifat negatif sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya dibutuhkan pimpinan yang memiliki visi (visionary leadership) yang dapat mengarahkan komitmen perubahan via diagnosis permasalahan organisasi, berbagi visi tentang bagaimana mengatur dan mengelola organisasi demi persaingan, mendorong konsensus terhadap visi baru, memperluah revitalisasi pada seluruh unit kerja, pelembagaan perubahan melalui kebijakan formal, sistem dan struktur, memonitor dan memperbaiki strategi-strategi dalam merespon permasalahan.
Dalam kontek value creation, hendaknya suatu organisasi berupaya untuk memaksimumkan nilai. Hal ini dimungkinkan jika pimpinan membawa organisasi ke dalam proses pembelajaran terus menerus, sehingga perilaku individu dalam organisasi benar-benar dapat diarahkan pada pencapaian visi dan misi yang telah ditetapkan. Kegagalan organisasi mengembangkan dan melaksanakan strategi yang memaksimumkan nilai dapat diidentifikasi sebagai manifestasi dari perilaku atau, menurut istilah Carl Spencer et.al. (2005) dari Strategic Decision group (SDG)[15] sebagai “pengulangan dosa” yang dilakukan oleh manajemen. Spencer dkk mengatakan ada 9 “dosa” atau perilaku yang menghancurkan nilai (opposing value) yang sering dilakukan oleh pimpinan organisasi. Kesembilan dosa yang mematikan dari suatu strategi tersebut adalah : delusion dan pride, incognizance dan indolence, wimpiness dan groupthink, simplism, dissociation dan operationalism. Namun sekumpulan “dosa-dosa” ini dapat dirubah menjadi kebajikan yang mampu mendorong semua orang yang terlibat dalam implementasi strategi organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
- Delusion
Delusion merupakan perumusan strategi tanpa berdasarkan pada realitas (inside-out thinking). Perilaku ini berwujud dalam bentuk suatu pemikiran yang menarik, namun asumsi-asumsi yang dikemukakan tidak realistis. Perumusan tujuan yang akan dicapai tidak jelas (unreasonable) disertai dengan tidak tersedianya alat-alat dan kemampuan untuk mencapai tujuan tersebut. Hasil dari delusi adalah timbulnya dari suatu kegiatan dadakan (tidak terdapat dalam perencanaan organisasi) yang pada gilirannya berakibat tidak dapat diimplementasikannya strategi yang ditetapkan.
- Pride
Organisasi yang mengalami keberhasilan dengan melakukan berbagai terobosan juga dapat menderita karena rasa kebanggaan yang berlebihan. Kebanggaan ini dapat berasal dari anggapan bahwa organisasi memiliki ketrampilan manajemen yang hebat, mencapai pertumbuhan tinggi dengan kontrol terbatas, dan kurang respek terhadap persaingan. Kebanggaan ini diwujudkan dengan mengimplementasikan strategi diversifikasi berdasarkan kepercayaan diri yang berlebihan.
- Indolence
Indolence menunjukkan suatu sikap yang terlalu menekankan pemikiran bahwa selalu terdapat peluang keberhasilan yang besar bagi organisasi, namun kurang berorientasi pada aktivitas, pelaksanaan, dan tindak lanjut. Hal seperti ini ditemui pada organisasi yang proses perencanaan organisasinya sangat panjang dan ada pemisahan antara perumus strategi dengan pelaksananya. Akibatnya, implementasi strategi berjalan lambat atau bahkan strategi yang telah dirumuskan tidak diterapkan sama sekali, dan pada gilirannya semua peluang yang menguntungkan tidak satupun yang dapat dicapai.
- Incognizance
Incognizance menunjukkan suatu perilaku „kekurangsadaran“ manajemen terhadap dinamika lingkungan organisasinya. Kondisi ini terjadi pada organisasi yang sudah mengalami keberhasilan, namun gagal melakukan perubahan-perubahan eksternal dengan cepat yang sebenarnya memerlukan perubahan strategi. Sangat sering organisasi yang mengalami incognizance tidak berkeinginan atau tidak sanggup untuk menginternalisasikan ancaman-ancaman eksternal kritis, karena mereka terfokus pada pemenuhan kebutuhan yang sempit dari konsumen organisasi saat ini.
- Wimpiness
Perilaku ini adalah perilaku „hanya mencari selamat“, perilaku menghindari resiko secara berlebihan. Kegagalan yang dilakukan oleh individu yang terlibat dalam implementasi strategi dikecam, namun mereka yang berhasil mencapainya tidak diberikan penghargaan yang memadai. Akibatnya dalam organisasi wimpy tidak seorangpun yang berkeinginan mengambil resiko atau menantang sacred cows, dan bertahan untuk tidak meninggalkan strategi yang digunakan saat ini dalam menghadapi perubahan lingkungan. Perilaku organisasi seperti ini karena trauma kegagalan di masa lalu.
- Groupthink
Pembuatan keputusan tanpa didasari pada pandangan-pandangan yang bersifat kritis. Groupthink terjadi bila pengambil keputusan mempunyai latar belakang dan pengalaman yang sama dan mengimplementasikan strategi organisasi secara bersama-sama. Mereka cenderung menyetujui suatu rencana atau strategi dengan cepat, downplay dissent, dan menghindari konflik.
- Simplism
Terlalu menyederhanakan masalah atau kecendrungan untuk memusatkan perhatian pada aspek tunggal suatu masalah, tanpa memeperhatikan hal-hal lain. Ini terjadi pada suatu organisasi yang mengembangkan strateginya secara tergesa-gesa dan ingin cepat melaksanakan strategi.
- Dissociation
Adalah suatu keadaan pemisahan dan ketidakkompakan. Ini terjadi bila organisasi mempunyai SDM yang kuat, namun kurang terlibat dalam pengembangan strategik dan dalam proses pembuatan keputusan. Akibatnya implementasi strategi menjadi tidak optimal dan bahkan menimbulkan resistensi yang kuat dari bawahan untuk melaksanakan strategi tersebut.
- Operationalism
Terlalu menekankan pada aspek operasional. Akibatnya terjadi bias dalam pengimplementasian strategi dan bahkan strategi dilaksanaan terlalu cepat (prematur), padahal perumusan strategi yang lengkap belum terselesaikan. Dengan kata lain, laksanakan saja dulu sambil dilakukan perbaikan. „Dosa“ seperti ini mengakibatkan akan banyak yang kehilangan peluang-peluang organisasi yang bersifat strategis.
3. Kepemimpinan Visioner dan organisasi belajar di fakultas : beberapa pokok pemikiran
Fakultas adalah unit penting dari suatu universitas sebagai sistem. Oleh karena itu secara umum dapat dikatakan bahwa keberhasilan mencapai tujuannya tergantung pada kinerja fakultas sebagai sub-sistem dengan berbagai unsur utamanya seperti Jurusan dan Program Studi. Oleh karena itu, alangkah baiknya bila Fakultas mengupayakan secara optimal implementasi organisasi belajar. Dalam konteks perbaikan dan peningkatan kinerja organisasi, fakultas dapat mengadopsi konsep organisasi belajar dan mengembangkan kemampuan untuk menerapkan gaya kepemimpinan visioner[16]. Tujuan akhir dari proses pembelajaran adalah perubahan, dan perubahan di masa yang akan datang tersebut dapat dicapai jika pimpinan universitas mempunyai visi yang jelas dan mengkomunikasikannya kepada semua civitas academica Universitas, apalagi visi tersebut berasal dari rektor atau dekan di tingkat fakultas. Ketidakjelasan visi universitas/fakultas dan ketidakmampuan civitas academica memahaminya karena kurang sosialisasi, berakibat « kapal » yang dinakhodainya menjadi tidak terarah, bahkan tersesat jauh dari tujuan. Sangat sering pimpinan dihinggapi penyakit « latah », karena implementasi untuk kegiatan yang bersifat strategis dilakukan ketika masa jabatannya hampir selesai.
Apa yang membedakan pimpinan kependidikan (educational leader) dari pimpinan organisasi yang lain adalah kepedulian pimpinan fakultas akan kualitas total (total quality). Kualitas total, menurut Sallis (1993), adalah “a passion and a way of live for those organizations who live its message”. Permasalahannya menurut beliau adalah bagaimana menghasilkan passion dan kebanggaan yang diperlukan untuk menghasilkan karya kependidikan yang berkualitas. Dalam kaitan ini,
Kitapun menyadari tidak ada satupun
- Memiliki kemampuan untuk menyatakan visi kepemimpinannya secara realistis, dan dapat meyakinkan serta menuntun organisasi mencapai suatu cita-cita masa depan yang lebih baik dari kondisinya masa kini.
- Selalu konsisten dan fokus terhadap pencapaian visi, yang dalam prakteknya tidak kaku terhadap kendala anggaran.
- Mempunyai kemampuan mengelola organisasi masa depan secara professional.
- Mampu merangsang motivasi pegawai profesionalnya untuk mengasilkan karya-karya nyata secara inovatif. Visionary leader harus mampu mengakomodir ego dan kepentingan masing-masing individu atau kelompok organisasi untuk merealisir visi organisasi. Manajemen organisasi akan diarahkan pada upaya mendorong tumbuh dan berkembangnya pemikiran intelektual yang mengarah pada inteligence, rasionalitas dan problem solving.
- Memiliki sensitifitas terhadap hubungan perseorangan (individualized consideration) dengan lebih memberikan perhatian pada perlakuan masing-masing individu di unit organisasi, sekaligus memberikan bimbinga nasehat.
Jelasnya, seorang visionary leader perlu memiliki keakhlian dalam memimpin tim organisasi yang terdiri dari para tenaga profesional melalui pendekatan pribadi, memecahkan konflik yang timbul antar anggota organisasi, mendengarkan segala keluhan-keluhan, memberikan umpan balik dan melaksanakan teknik oral persuasion.
Di fakultas, senat sebagai badan normatif (normatif board) mempunyai peran penting dalam membantu menstimulir kepemimpinan visioner dekan. Senat dan dekan adalah dewan pimpinan akademik di fakultas. Badan normatif tersebut dapat dikatakan sebagai dewan komisarisnya di perusahaan yang menentukan arah dan kebijakan umum fakultas, sedangkan dekan sebagai CEO organisasi yang merancang dan mengimplementasikan strategi dan action plan organisasi. Dengan kata lain keberadaan dua institusi internal tersebut dapat dianggap sebagai dewan pimpinan fakultas. Keberhasilan dan kegagalan pencapaian visi seharusnya tidak dipandang secara individual, tetapi secara kolegial (collegial management style). Untuk dapat menjadi inovatif dan kreatif, anggota senat juga harus mempunyai visi yang jelas dan kemampuan untuk membelajarkan organisasinya ke arah pencapaian visi tersebut.
Frank Martinelli (2002)[18] memandang kepemimpinan suatu lembaga non bisnis (yayasan, sekolah) yang mempunyai board seharusnya mempunyai karakteristik-karaktersitik sebagai berikut :
- Mempunyai visi dan terfokus pada masa depan (visionary and future focused).
- Mempunyai semangat kewirausahawan (entrepreneurial spirit), yakni menyadari bahwa organisasi yang mereka pimpin beroperasi dalam lingkungan yang dinamis dan cepat berubah dan berupaya menciptakan barang/jasa guna memenuhi kebutuhan yang muncul.
- Pengambil resiko (risk takers). Tidak takut menagmbil resiko untuk perubahan organisasinya ke arah yang lebih baik.
- Komunikator yang baik (good communicator), yaitu memahami pentingnya komunikasi yang efektif.
- Pemikir system (system thinkers), berusaha memahami sebab-sebab dan kekuatan utama yang membentuk isu dan tantangan yang organisasi hadapi, mencari
- Mencari dan membentuk
- Mempunyai appresiasi mendalam terhadap kekuatan akan adanya keberagaman (deep appreciation of strength of diversity). Memahami bahwa keberagaman membantu menjamin tingkat responsifitas yang tinggi terhadap pelanggan dan juga meningkatkan kreativitas, inovasi, dan pembelajaran organisasi.
Karakteristik-karakteristik tersebut di atas mendefiniskan posisi board untuk melaksanakan gaya kepemimpinan visioner. Namun tampaknya ada sejumlah hambatan yang menghalangi keefektifan senat (board) baik di tingkat universitas dan fakultas mengaplikasikan visionary leadership guna membangun dan merevitalisasi board yang kuat (powerful). Hambatan-hambatan tersebut pada dasarnya berasal dari perilaku pimpinan dan anggota board itu sendiri karena alasan-alasan berikut :
· Kurangnya waktu. Seringkali anggota senat dengan alasan kesibukannya yang lain kurang punya waktu untuk berinteraksi secara intensif dengan anggota pimpinan lain. Padahal untuk memainkan peranan kepemimpinan visioner, baik senat maupun pimpinan puncak perlu waktu untuk menghadiri rapat, mencari informasi baru yang relevan dan diperlukan dalam rapat senat dan memelihara kontak dengan setiap orang dalam organisasi.
· Menghindari pengambilan resiko. Agar pengambilan keputusan yang diambil lebih inovatif dan kreatif, pimpinan harus berkeinginan mencoba hal-hal yang dianggap baru atau mengambil resiko.
· Kurangnya keterlibatan anggota senat fakultas/universitas dalam membuat perencanaan strategik. Ada anggota senat fakultas/universitas yang tidak terlibat. Ada yang terlibat dalam keputusan strategis tapi hanya superfisial. Apabila ini terjadi, anggota senat dan bahkan senat sendiri sebagai institusi penting di organisasi akan kehilangan peluang untuk melaksanakan kepemimpinan visionernya.
· Kurangnya pengetahuan akan dinamika lingkungan organisasi. Seringkali, kurangnya pengetahuan ini mengakibatkan anggota-anggota senat kurang yakin untuk bertindak secara decisif dan otoritatif.
· Micro-management, yaitu kecendrungan anggota-anggota senat untuk membicarakan dan memperhatikan masalah-masalah yang kurang penting, sementara agenda-agenda utama yang mempunyai dampak strategis kurang diperhatikan.
· Mempertahankan cara-cara lama dalam mengelola organisasi. Mempertahankan cara lama berarti terdapat resistensi yang kuat dari sebagian civitas academica untuk melakukan perubahan cara bekerja yang beorientasi mutu. Resistensi ini disebabkan oleh adanya persepsi bahwa cara kerja baru hanya menambah « pekerjaan » organisasi saja. Bila pimpinan sudah komit, namun bawahan belum bisa melaksanakan perubahan karena kekurangpaham mereka, maka adalah tugas pimpinan organisasi untuk mendorong pembelajaran organisasinya guna merubah perilaku individu-individu di dalam organisasi.
· Peranan dan hubungan anggota dewan pimpinan kurang jelas. Bila peran dan anggota senat tidak jelas « siapa melakukan apa dan bagaimana » dan hubungan antara peranan/fungsi kabur, maka sangat sulit mengipmlementasikan strategi organisasi secara efektif. Jika, misalnya, di tingkat universitas sudah terdapat pembagian tugas (division of tasks) antara anggota senat, maka sebaiknya di tingkat fakultaspun hendaknya dibentuk pembagian tugas yang jelas, misalnya gugus tugas yang membidangi pengembangan akademik, bidang administrasi dan pengembangan organisasi fakultas, bidang pengembangan kreativitas mahasiswa dan pemberdayaan alumni, bidang venture/bisnis organisasi (marketing institutions)
· Menganggap pimpinan tidak harus visioner. Pandangan ini tentu saja sangat keliru, pimpinan yang tidak visoner mengakibatkan organisasinya akan menjadi salah satu organisasi yang dihinggapi oleh satu atau beberapa berpenyakit kronis organisasi sebagimana yang dikemukakan oleh William dan Nurin Cohen (1994) di atas.
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, Martinelli menawarkan lima strategi untuk menjadikan dewan pimpinan organisasi yang di fakultas dapat dianalogikan atau direpresentasikan oleh senat fakultas untuk menjadi lebih visioner , yaitu :
- Fokus pada tujuan akhir organisasi.
Pimpinan harus memfokuskan perhatian dalam mencapai tujuan akhir organisasi dan menghindari micro-management yang membicarakan masalah-masalah yang kurang penting. Visi, misi, tujuan, dan strategi yang dirumuskan dalam rencana strategis seharusnya menjadi fokus dari pemikiran dan pembuatan keputusan pimpinan.
- Menciptakan rencana jangka panjang (Renstra) untuk pengembangan kepemimpinan di masa depan.
Elemen-elemen utama dari pendekatan ini adalah :
- Menciptakan suatu panitia pengembangan kepimpinan yang berkelanjutan.
- Mengkaitkan pengembangan senat fakultas dan juga dewan pimpinan fakultas (dekan dan pembantunya) dengan rencana strategis, misalnya mengidentifikasi ketrampilan baru, pengetahuan, kontak-kontak personal yang perlu dimiliki oleh calon pimpinan atau calon anggota dewan pimpinan.
- Melaksanakan evaluasi tahunan untuk mengetahui sejauh mana senat fakultas/pimpinan fakultas melaksanakan kegiatan yang menuju « ultimate ends ».
- Mengembangkan shared vision untuk masa depan organisasi
Operasionalisasi strategi ini adalah dengan
- Menggunakan visi sebagai sebuah kerangka bagi senat/pimpinan fakultas dalam membuat keputusan dalam setiap pertemuan.
- Mengkomunikasikan visi anda pada seluruh anggota organisasi
- Mendiskusikan dan brain storming dengan semua anggota senat tentang perumusan visi yang menarik, jelas, singkat, dan menumbuhkan inspirasi bagi semua anggota organisasi.
- Gunakan visi sebagai basis dalam dialog periodic mengenai isu-isu dan tantangan yang muncul.
- Selalu mengikuti perubahan yang cepat
Perubahan yang cepat memaksa pimpinan membutuhkan informasi yang akurat, relevan dan tepat waktu untuk merumuskan dan merevitalisasi visi organisasi di masa depan. Dalam hal ini, seyogyanya semua anggota organisasi dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang peluang dan tantangan dimasa depan. Pertanyaan-pertanyaan utama yang perlu dicarikan jawabannya adalah : tren dan perubahan eksternal apa saja yang akan mempunyai dampak paling besar terhadap organisasi dalam tiga atau
- Tetap peka terhadap kebutuhan konsumen yang berubah
Konsumen perguruan tinggi hidup dalam lingkungan yang cepat berubah, dan pimpinan (dewan pimpinan) universitas/fakultas seharusnya merespon dengan cepat perubahan kebutuhan tersebut. Tanpa adanya tindakan-tindakan konkrit yang diambil pimpinan universitas/fakultas hanya akan berakibat kurangnya daya saing lulusan di bursa kerja dan ketidakmampuan lulusan untuk menciptakan lapangan kerja sendiri. Dengan demikian, applikasi kurikulum berbasis kompetensi sudah selayaknya diterapkan sebagai salah satu perwujudan perubahan dalam merespon kebutuhan konsumen dan stakeholders perguruan tinggi yang lain.
4. Penutup
Organisasi belajar dan kepemimpinan visioner dalam sebuah organisasi, terutama fakultas bagaikan dua sisi mata uang yang sama, keduanya tidak mutually exclusive, namun saling melengkapi. Organisasi belajar (learning organization) menuntun perilaku organisasi dan perubahannya, yang dicerminkan oleh sikap dan perilaku individu-individu dalam organisasi (soft-side), untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Hal ini dilakukan dengan cara mendorong kreativitas diantara anggota organisasi secara maksimal, menumbuhkan iklim kompetisi yang sehat dan bekerja bersama secara sinergis dalam rangka meningkatkan produktivitas dan kinerja organisasi yang tinggi. Efektivitas organisasi belajar akan sangat tergantung pada sampai sejauh mana pimpinan mendukung proses tersebut, empowerment secara efektif, dan tidak memandang empowerment sebagai ancaman. Intinya, organisasi belajar dengan dukungan kepemimpinan visioner bertujuan menciptakan budaya organisasi yang sehat dan positif dalam upaya mencapai cita-cita (visi) bersama. Hanya pemimpin yang mempunyai visi yang jelas dan mengkomunikasikannya secara konsisten kepada semua anggota organisasi (visionary leader) serta mengevaluasi pencapaian visi secara periodik yang mampu membawa organisasinya ke arah perubahan yang diinginkan. Visi yang tidak jelas dan tidak dipahami oleh semua orang dalam organisasi mengakibatkan iklim kerja menurun dan budaya kerja berbasis kinerja sulit dicapai secara maksimal. Seorang pimpinan yang tidak memiliki visi, sebenarnya telah kehilangan kredibilitasnya sebagai seorang panutan. Bila pimpinan membiarkan hal itu terjadi, maka organisasi (baca : fakultas) bisa terjebak ke dalam salah satu atau bahkan beberapa pola organisasi sebagaimana dikemukakan oleh William dan Cohen di atas. Akhirnya, we have to seek the man who can sing tenor, sebagaimana dikatakan Henry Food pada awal tulisan ini.
Abeng, Tantri (1997), Dari meja
Galvin,
Garvin,
Hartanto,
Jabarus,
Kopelman,
Krutner, Robert dan Angelo Kinicki (2004), Organizational Behavior, 6th Edition, Mc-Graw Hill,Irwin, NY, 2004
Martinelli,
Nanus,
Senge,
Spencer, Carl , Jim Lang, Greg Bean, dan David Wolter (2005), Seven Deadly Sins of Strategy, discussion paper of The Strategic DecisionGroup (SDG), January, http://www.sdg.com
Sallis,
[1] Discusion paper dipersiapkan oleh Anwar Azazi dalam rangka diskusi FE UNTAN, Januari 2006
[2] Dikutip dari Richard E.Kopelman, Managing Productivity in Organizations : A Practical, People-Oriented Perspective, McGraw-Hill Book Company,
[3]
[4]
[5]
[6] Hasil studi empirik ini jauh sebelumnya telah disabdakan oleh Rasulullah SAW bahwa leadership traits yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah : siddiq (jujur), amanah (konsisten dalam perjuangan), tabligh (kemampuan berkomunikasi secara efektif), dan fathanah (memiliki kecerdasan intelektual dan emosional)
[7]
[8]
[9] Robert Krutner dan Angelo Kinicki (2004), Organizational Behavior, 6th Edition, Mc-Graw Hill,Irwin, NY, 2004, p.595
[10]
[11] Seorang pemimpin karismatik biasanya sangat dihormati oleh pengikutnya karena pada umumnya mereka jauh dari sifat munafik, sombong dan mementingkan diri sendiri. Barangkali sifat/akhlak mereka sama dengan sifat karismatiknya Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq yang dalam pidato pelantikannya sebagai khalifah pertama menyiratkan 7 akhlak kepemimpinannya yaitu : rendah hati (tawadhu’), terbuka menerima koreksi, amanah dan jujur, berlaku adil, konsisten dalam perjuangan, dipatuhi dan bersikap demokratis, dan berbakti kepada Allah SWT.
[12]
[13]
[14]
[15] http://www.sdg.com
[16]
[17]
[18]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar